Miskin Sedekah
Aku adalah pohon kokoh yang rapuh. Aku dan keluargaku tinggal di istana mewah sebesar garasi mobil yang penuh dengan hampanya perhiasan. Aku hadapkan keseharian seperti biasanya tanpa penuh cinta. Keseharian yang terkadang membuatku risih terhadapnya. Setiap mendengar ayam berkokok, adik-adikku harus berangkat ke tempat peraduannya.
Keluargaku kini berjalan tanpa adanya kasih sayang seorang bunda. Ibuku meninggal karena kanker di pelepuk matanya. Derasnya air rasa rindu ketika aku mengingatnya. Terlebih lagi, ibuku adalah obat hatiku saat kelam. Akan tetapi, aku tahu ini adalah takdir yang perluku telan.
Takdir yang membuat ibu tidur selamanya, membuat kondisi ayahku memberontak. Setiap hari tubuh ayah menjerit. Nyanyian tersiksa keluar dari mulutnya. Aku menelan ludah sebab tak sanggup menggengamnya. Hal itu membuat ayahku tak bisa lagi menambang seegenggam nasi untuk buah hatinya.
Miskin memang dapat menusuk hati setiap insan. Rasanya aku ingin berteriak. Namun, teriakan itu tak terdengar bagaikan fatamorgana padang pasir. Pengangguran yang kini menghinggap di diriku membuatku tak bisa diam. Hariku isi dengan lautan perjuangan untuk bisa bersandar di pantai putih. Koran terus menggenggam tanganku. Diriku meneliti setiap katanya demi dapat sumber kekuatan untuk hidup.
Serangan bom bertambah ketika Fatimah dan Indah membutuhkan bahan bakar untuk mesin otaknya. Akan tetapi, lautan indah kini sedang surut. Keadaan ini mendesak rumah kami. Aku seorang pemikul beban mesti bangkit dari tidurku. Aku keluar dari istana mewahku sejenak untuk dapatkan bintang di langit.
Berlayarnya aku dari hulu ke hilir. Sejauh mata memandang, aku melihat seorang pasukan oranye yang sedang menerpa kotornya kota. Dia melakukannya dengan hati yang menari-nari. Tak sengaja aku melihatnya dia menggengam setumpuk kertas harum dari bosnya. Seketika dia memberikan pelangi senyumnya kepada para penghafal Al-Quran dan anak yatim. Hatiku tertabrak tembok ketika memperhatikannya. Serentak aku menghampirinya. Aku menanyakan alasan kepadanya.
“Mengapa gaji bapak malah disedekahkan? lebih baik uangnya digunakan untuk keperluan yang lain,” tanyaku penuh kebingungan.
“Saya yakin Allah membalasnya. Balasannya juga tidak harus dengan uang juga, Mas. Bisa juga dengan kesehatan, keluarga harmonis, ataupun umur yang panjang. Terkadang kita saja yang tidak sadar. Kita harus berbaik sangka kepada Allah,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Dia memberikan nyanyian indah yang membuat hati ini mencair. Derasnya air bertekad untuk ikut mengalir dalam arus yang kuat. Aku menerpa bisikan mutiara hitam di hatiku. Aku menjual satu-satunya motorku. Aku langsung menyedekahkan sebagian besar uangnya untuk sedekah.
Tiba-tiba bom atom meledak. Sekujur tubuhku meronta-ronta. Hati ini mulai retak. Ketika aku mendengar kabar dari Fatimah.
“Kak, ayah kak,“ panggil Fatimah dengan panik.
“Ayah kenapa ?” tanyaku dengan jantung yang berdetak cepat.
“Sakit ayah makin parah kak sampai tidak sadarkan diri, Kak,” jawab Fatimah dengan sedih.
“Hah, kenapa bisa ?” tanyaku terkejut mendengarnya.
Segera kami memikulnya ke rumah sakit. Akan tetapi, aku lupa ada meteor jatuh ke tanganku yang aku tak sanggup untuk mendorongnya. Aku mencari-cari pinjaman ke orang di sekitarku. Namun, ku tak dapat meraihnya. Aku ingat bahwa motor andalanku telah dijual. Aku harus dapat melawan hembusan angin topan.
Aku berharap bisa menatap senyum ayahku lagi. Aku pasrahkan ini pada pencipta bumi dan langit. Kami menempuh jalan yang lurus dengan penuh penerangan doa-doa tulus.
Ketika itu datanglah seseorang yang menghampiriku. Awalnya aku ragu terhadap hitamnya bayangan bapak itu. Ternyata dia adalah bagian dari tubuh ayahku dulu bernama Yusuf. Dia menceritakan kisah hebat pada kenangan masa lalu yang pernah mereka jalani. Aku dibuatnya penasaran dan membayangkan betapa subur dan hijaunya taman hidup mereka.
Aku terkagum-kagum pada keringat perjuangan ayahku dulu. Ayahku yang kini sedang terbaring lemahnya di rumah sakit, ternyata seorang yang tangguh.
“Tujuh bulan yang lalu, saya dan teman-teman mencari kontrakan kalian, tetapi tidak ketemu dan tidak punya nomor teleponnya,” ujar bapak itu.
“Saat itu, memang kami pindah dari kontrakan yang lama karena tidak sanggup bayar. Bapak sedang dirawat di Rumah Sakit Jaya Berkah. Saya juga seorang pengangguran yang belum mendapat pekerjaan,” jawabku dengan sedih.
“Hah, bapak kamu sakit ?” terkejutnya bapak itu.
“Iya pak, beliau sedang koma. Kami pun masih bingung tentang biaya pengobatan dan operasinya,” jawabku dengan pasrah.
Aku pun mengajak Pak Yusuf menjenguk jantung hidupku yang sedang sakit. Perlahan-lahan air duka menetes dari penglihatan beliau. Beliau ingin membalas keringat bapakku dulu dengan membayar biaya rumah sakit.
Kebetulan beliau adalah seorang pengais dollar di luar nusantara. Beliau punya secerca cabang kantor di tanah air tercinta. Aku diajaknya untuk memegang salah satu mata airnya.
Kabar baik itu meledakkan senyumku bagaikan pelangi di angkasa. Kami bersyukur ketika mendengarnya. Aku menyesal pernah ragu untuk sedekah. Aku bersujud di himpunan hangat-Nya dengan air membendung di mata. Hidup ini seakan-akan menjadi terang dan ringan.
Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat. Bagikan juga ke teman-temanmu ya.
Comments